Di tengah harapan para orang tua dan pendidik agar anak-anak meraih masa depan cemerlang lewat pendidikan, ada ironi yang menyayat hati: sebagian murid justru memimpikan untuk tidak bersekolah. Bukan karena mereka malas belajar, tetapi karena sekolah tak lagi terasa seperti tempat yang aman dan menyenangkan. Tekanan nilai, beban tugas yang menumpuk, hingga lingkungan yang tak bersahabat menjadikan sekolah sebagai tempat yang menegangkan, bukan tempat berkembang. Maka, wajar jika beberapa anak bermimpi untuk berhenti—bukan untuk menyerah, tapi untuk bernapas.

Fenomena ini bukan semata soal kemalasan atau kurangnya semangat belajar. Banyak murid merasa sistem pendidikan terlalu kaku dan tidak memberi ruang bagi keunikan mereka. Kreativitas yang seharusnya tumbuh justru dibatasi oleh standar nilai dan kurikulum yang seragam. Ketika impian mereka tak sesuai dengan kotak-kotak mata pelajaran, mereka mulai merasa tak punya tempat. Mereka ingin belajar, tapi dengan cara yang berbeda—lebih bebas, lebih relevan dengan kenyataan, dan lebih manusiawi.

Sayangnya, keinginan murid untuk tidak bersekolah sering kali dianggap pembangkangan. Padahal, ini bisa jadi sinyal penting bahwa sistem pendidikan perlu berubah. Mungkin yang perlu diperbaiki bukan semangat belajar anak-anak, melainkan cara sekolah mengemas proses belajar. Ketika guru mulai mendengar, dan sekolah membuka diri untuk bertransformasi, barulah kita bisa berharap murid kembali menjadikan sekolah sebagai tempat impian, bukan tempat pelarian dari mimpi44.

Impian seorang murid untuk tidak bersekolah bukan akhir dari segalanya—ia bisa menjadi awal dari perubahan besar. Jika dunia pendidikan mau lebih peka, maka harapan itu bisa diarahkan menjadi kritik konstruktif. Karena sejatinya, setiap anak ingin berkembang, hanya saja tidak semua merasa sekolah adalah tempat terbaik untuk melakukannya. Dan tugas kitalah, sebagai masyarakat, orang tua, dan pendidik, untuk menjadikan sekolah kembali layak disebut sebagai rumah bagi tumbuhnya mimpi.